sebuah pendekatan logis Dalam memahami Eksistensi Ketuhanan
Mengenal tuhan merupakan kewajiban setiap hamba. Mengenal Tuhan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dari metode yang paling simple hingga memerlukan dialog panjang. Orang bijak mengatakan,"Barang siapa mengenal dirinya,maka dia mengenal tuhannya" [1]. Ungkapan yang muncul dari kalangan sufi cukup bergaung luas,bahkan banyak kalangan mengira bahwa itu adalah hadits Nabi SAW.
Dengan alam semesta yang diciptakan-Nya,pada dasarnya Tuhan (Allah SWT) telah " memperkenalkan diri" kepada hamba-Nya. Dengan nama-nama-Nya yang indah (al-Asma' al-Husna) yang diajarkan melalui kitab suci-Nya,Tuhan memperkenalkan diri untuk dipahami dan "didekati".Nama-nama tersebut merupakan kerakter-karakter yang sudah demikian dekat dalam perspektif kemanusiaan. Bahkan dibumi yang kita huni dan pada diri manusia sendiri terdapat tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang nyata. Allah SWT berfirman.
وفي الأرض أيات للموقنين * وفي أنفسكم أفلا تبصرون
"Dan dibumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yaqin,dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan! " Qs al-Dzriaat [51]: 20-21.
Siapa yang mengatur pergantian siang dan malam! Siapa yang menciptakan makhluk dan segala spesies yang ada dibumi ini? Siapa yang menetapkan ekosistem yang Kita saksikan di atas sana? Siapa yang menciptakan keteraturan dalam sistem anatomi tubuh kita? Siapa yang membentangkan negeri-negeri yang kita tempati? Siapa yang menghamparkan luasnya samudera? Siapa yang membuat hukum gravitasi yang kita alami ini, kalau bukan Allah SWT,Tuhan alam semesta raya.
Pelbagai cara dilakukan orang untuk mengenal Allah SWT. Pendekatan-pendekatan dilakukan dari pelbagai aspek yang demikian beragam. Mulai dari pendekatan dengan penekanan pada "rasa" dalam hati yang kemudian melahirkan disiplin ilmu tasawuf, hingga pendekatan rasional akal dan filsafat yang kemudian melahirkan disiplin ilmu kalam (teologi). Untuk mebhats ini,kita sedikit menyelam seputar ilmu kalam (teologi).
Sepeninggal Nabi SAW dan para sahabat,agaknya generasi umat Islam terus mengalami dinamika dan perkembangan pemikiran yang terus " ber-evolusi ". Pendekatan-pendekatan pada ayat-ayat suci al-Alqur'an,khususnya yang menyangkut persoalan ketuhanan (ayat-ayat fadhilah) menjadi kian beragam dan varian. Tidak jarang dari upaya-upaya pendekatan tersebut berbuntut konflik pemikiran yang berujung konflik horizontal yang mengerikan dan berdarah-darah.
Adalah Abul-Hasan al-Asy'ari,sosok pelopor gerakan pemikiran moderat dalam teologi Islam mencoba mengusung sebuah konsep ketuhan ('aqidah) dengan menawarkan argumen-argumen rasional yang tidak jauh dari konsep al-Qur'an dan as-sunnah. Gerakan pemikiran ini kemudian lebih identik dengan sebutan Ahlussunnah wal-jama'ah. Dalam mengupas persoalan ketuhanan, al-Asy'ari cukup "berani" berkonfrontasi dengan para seniornya yang rata-rata beraliran Mu'tazilah yg relatif rasionalis itu.
Dengan melakukan pendekatan dan pengatan terhadap ayat-ayat fadhilah dalam al-Qur'an maupun hadits-hadits shaheh,al-Asy'ari mencoba dengan pendekatan lewat konsep "al-Aqa'id al-Khamsin" (aqa'id 50) yang merangkum dan menjelaskan sifat-sifat Allah SWT dan para utusan-Nya. Al-Asy'ari membuat tiga kategori dalam merumuskan sifat-sifat Allah maupun para utusan-Nya. Yakni sifat wajib (niscaya), sifat mustahil dan sifat jaiz (prerogatif). Dengan suguhan argumentasi logis dan dialogis yang diramu dengan dalil-dalil dalam al-Qur'an maupun hadits, Al-Asy'ari mencoba "mendevinisi" Tuhan dengan komprehensif agar lebih "dekat" dengan pemikiran kita,dengan harapan pemahaman kita tidak jauh berbeda dengan gagasan dan perspektif yang dibangun oleh junjungan Rasulullah SAW.
Al-Asy'ari membuat devinisi ringkas tentang Tuhan dengan mengatakan bahwa yang dinamakan Tuhan adalah Zat yang tidak pernah membutuhkan atau bergantung kepada yang lain dan senantiasa dibutuhkan oleh yang lain. Untuk itu, maka Tuhan itu haruslah: Maha Ada (Wujud), Tiada Bermula (Qidam), Tiada Berakhir (Baqa'), berbeda esensi maupun eksistensinya dengan makhluk atau alam semesta (Mukhalafat lil-hawadits), Independen (Qiyam bi-nafsihi), Maha Esa (Wahdaniyat), Maha Berkuasa (Qudrat), Maha Karsa (Iradat), Maha Mengetahui (Ilm), Maha Hidup (Hayat), Maha Mendengar (Sama'), Maha Melihat (Bashar) dan Berfirman (Kalam).
Masing-masing eksistensi (Sifat) tersebut merupakan suatu keniscayaan bagi tuhan. Namun meski demikian tidak berarti al-Asy'ari mendevinisikan Tuhan dengan adanya Organ atau panca indra pada "Diri" Tuhan atau gambaran lain yang identik dengan esensi atau eksistensi makhluk hidup. Al-Asy'ari tidak berarti memberikan batasan dengan jumlah sifat tersebut,tapi lebih merupakan upaya penawaran pendekatan dan pemahaman yang solutif,mudah dicerna dan logis.
Dengan sifat-sifat tersebut,maka Tuhan mustahil mengalami kondisi ketiadaan atau sirna,atau bermula,berakhir,merupakan unsur semacam makhluk atau alam semesta,tidak independen, tediri atas beberapa unsur atau lebih dari satu atau memiliki padanan, tidak berkemampuan, tidak berkehendak sendiri, tidak mengetahui, tidak hidup, tidak mendengar, tidak melihat atau tidak berfirman. Secara garis besar bahwa segala macam bentuk kekurangan atau ketidak sempurnaan adalah hal yang mustahil bagi Tuhan. Tuhan adalah Zat Maha Sempurna yang bahkan tidak memerlukan ruang dan waktu. Bahkan keduanya merupakan eksistensi semesta yang juga merupakan hasil kreasi-Nya.
Untuk sifat prerogatif (Jaiz) Tuhan, al-Asy'ari membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu bisa saja berbuat segala sesuatu yang mungkin,termasuk menciptakan atau meniadakan apapun dan Tuhan Maha semau-maunya. Keadaan positif maupun negatif, adanya kebaikan dan keburukan, iman dan kufur, taat dan fasik, petunjuk dan kesesatan, adanya surga dan neraka, pahala dan siksa, tatanan dan kerusakan, keteraturan dan acakan, semuanya merupakan implikasi dari sifat prerogatif Tuhan.
Sifat-sifat yang dirumuskan oleh al-Asy'ari merupakan "intisari" dari al-Asma' al-Husna serta katakerja-katakerja yang bersubyek Tuhan (Allah SWT) yang ada dalam al-Qur'an. Al-Asy'ari merumuskannya dengan; 13 plus 7 sifat Wajib, 13 plus 7 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz. Ini merupakan metode bijak yang ditawarkannya agar "Devinisi" Tuhan lebih dekat dengan rasionalis kita dan tidak keluar dari koridor al-Qur'an dan hadits Nabi SAW, sehingga kita benar-benar bisa menjadi Ahlut-tauhid (monoteis).
Untuk para utusan Allah, al-Asy'ari merumuskan,bahwa sifat (karakter) para rasul (utusan) Allah yang wajib (niscaya) ada empat,yaitu; shidq (jujur dalam ucapan maupun tindakan), amanat (komitmen dan keselarasan antara ucapan dan perbuatan), tabligh (menyampaikan informasi-informasi) kerasulannya,aktif dakwah dan komunikatif) dan fathanah (cerdik-cendikia dan menguasai argumentasi dalam dialog dengan para obyek dakwah atau umatnya). Dengan demikian,maka masing-masing kebalikan dari empat sifat pokok tadi adalah mustahil terjadi pada mereka. Yakni; berdusta, berkhianat, tidak menyampaikan informasi risalahnya dan pandir.
Sedangkan sifat jaiz mereka adalah segala bentuk, keadaan, kondisi, karakter, perilaku menusiawi yang tidak sampai berdampak aib atau mengurangi derajat kenabian atau kerasulan mereka yang sangat tinggi dan mulia itu. Maka para rasul Allah bisa saja terkena musibah, penyakit, lupa, tubuh gemetar, menggigil dan terkejut, tetimpa rasa kantuk dan tidur, rasa lapar dan dahaga, rasa kenal dan susah. Mereka juga tidak terhindar dari rasa senang dan suka cita, melakukan pernikahan dan memiliki keturunan, keburutuhan akan makan dan minum serta sarana hidup lainnya, kebutuhan rasa aman dan sebagainya yang merupakan hal-hal lumrah yang terjadi pada manusia, sebab pada dasarnya mereka juga manusia biasa seperti halnya manusia lainnya. Artinya para Rasul Allah bukanlah dari unsur atau jenis Malaikat yang suci dari karakter-karakter manusiawi.
Namun para rasul tidak pernah terjebak pada kemaksiatan,baik yang berat ataupun yang "ringan", melakukan perbuatan manusiawi yang sia-sia,terkena penyakit-penyakit yang menyebabkan mereka dijauhi atau dihindari oranglain seperti; lepra, cacat fisik atau cacat mental dan penyakit ganas lainnya yang sulit disembuhkan. Para rasul juga tidak pernah terlena oleh gemerlap duniawi. Prinsipnya,segala hal yang merendahkan martabat mereka sebagai rasul-rasul Allah tidak terjadi kepada mereka. Dakwah memerlukan kewibawaan dan martabat, maka hal-hal manusiawi yang dapat merusak atau mengurangi martabat atau citra mereka tidak dialami atau terjadi pada para Rasul Allah itu.
Source; anshory huzaimi
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Manhaj
dengan judul teologi Asy'ariyah. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://kaktus-jack.blogspot.com/2011/11/teologi-asyariyah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
bin siriin - Selasa, 22 November 2011
Belum ada komentar untuk "teologi Asy'ariyah"
Posting Komentar